Saturday, February 11, 2017

Memaafkan Masa Lalu, Memaafkan Diri Sendiri

Karena saya dan Marq gagal menemukan ide untuk menulis tema dari #1minggu1cerita minggu minggu ini tentang "Forgiveness" di blog jalan-jalan kami Jejak Katumbiri, kami memutuskan untuk menulis di blog masing-masing. Blog pribadi saya seringnya sih memang tempat curhat :D.
---------------------------------------------

Ok..let the story begins........

Dari salah satu buku parenting yang pernah saya baca, anak yang bahagia mempunyai orang tua yang bahagia. Siapa tak ingin mempunyai anak yang bahagia? Di antara saya dan suami, saya rasa saya yang lebih menginginkan agar Alif tumbuh menjadi anak yang bahagia dengan hidupnya nanti. Mengapa? Siap-siap ya.. It's gonna be a long..long story๐Ÿ˜

Waktu saya lahir, ayah dan ibu saya mempunyai pekerjaan tetap yang terhitung lumayan. Ayah bekerja di perusahaan minyak nasional dan ibu saya guru sekolah menengah pertama. Hidup terasa baik-baik saja. Ibu saya adalah tipe dominan, aktif mengatur rumah, aktif dalam kegiatan sosial, dan lain-lain. 

Hingga suatu masa, saat itu saya kelas tiga SD, terjadi sesuatu yang mengubah semuanya. Yang pasti, sesuatu yang terjadi saat itu sama sekali bukan karena sesuatu yang dilakukan oleh ayah atau ibu saya, bukan salah mereka. Kira-kira idenya serupa dengan konsep original sin yang dipahami oleh umat kristiani.

Waktu berlalu. Selanjutnya setelah rentetan peristiwa itu, Ayah tak lagi bekerja di perusahaan minyak nasional tempat beliau bekerja seumur hidupnya. Untung keluarga kami selalu punya sawah. Kakek dan nenek dari ayah dan ibu saya memiliki cukup lahan untuk bertani. 

Saya merasa kondisi perekonomian keluarga kami tidak berubah banyak (ini pemahaman dari kacamata anak SD). Saya dan kakak-kakak saya tetap bisa mengambil kursus ini-itu. Tak lama kemudian, kakak saya yang tertua melanjutkan SMA ke Bandung. Yang berbeda, ayah dan ibu saya makin sering bertengkar. Ibu semakin lama berada di luar rumah untuk bekerja. Selain mengajar, beliau menjalankan berbagai bisnis. Memasok beras, telur asin, dan lain-lain. Lalu apakah ayah saya tidak melakukan apa-apa? Ayah saya tetap pergi ke sawah, mengurus peternakan ayam kecil, dan lain-lain.

Tibalah saatnya kelulusan Saya dari SMP. Ibu mendorong saya untuk melanjutkan sekolah ke Bandung, demi kualitas pendidikan yang lebih baik katanya. Ibu saya memang selalu mempunyai mimpi yang besar untuk anak-anaknya, walaupun Beliau harus mengorbankan dirinya. Saat itu beliau menanggung biaya kuliah kakak saya yang tertua, kakak kedua saya, dan saya. Saat itu hubungan ayah dan ibu saya semakin parah.

Hingga suatu hari Idul Adha ketika saya kelas 2 SMA, kami sekeluarga pergi makan bakso di salah satu tempat makan bakso yang populer di kota kami. Ada yang aneh. Karena hubungan yang tidak baik antara ayah dan ibu saya, kami hampir tidak pernah lagi keluar bersama sekeluarga. Biasanya ibu hanya mengajak kami, anak-anaknya. Firasat saya terbukti. Setelah makan bakso bersama, ayah dan ibu resmi bercerai. Sedihkah saya? Walaupun selama ini saya tahu hal ini cepat atau lambat akan terjadi, tetap saja saya sedih.



Setelah bercerai ibu saya tetap berusaha maksimal mengurus dan membiayai anak-anaknya. Sayangnya, menurut perasaan kami, ibu terlalu dominan juga dalam hidup anak-anaknya setelah kami mandiri. Pilihan pekerjaan, tempat tinggal, pengasuhan anak, dll menjadi contoh hal-hal dimana beliau cukup dominan. Dan hal itu seringkali menimbulkan konflik di antara kami. Sementara Ayah saya, hingga beliau meninggal, lebih bersikap terbuka terhadap pilihan kami. 

Atas segala yang terjadi, Saya tidak pernah menyalahkan orang tua saya. Saya paham, betapa sulitnya keadaan bagi mereka. I always know they were trying their best. Jadi saya menyalahkan siapa? Tuhan? Rasanya saya tak sekurang ajar itu. Kadang saya membenci pemerintah yang berkuasa saat itu, menuduh mereka lah penyebab hancurnya keluarga Saya (mungkin yang akhirnya secara tidak sadar mengarahkan saya untuk menggeluti ilmu politik๐Ÿ˜’).

Semakin lama saya semakin memahami, tidak ada yang bersalah. It just happen alias sudah garis hidup kami. Efeknya, karena saya tidak menemukan pihak lain yang seharusnya bertanggung jawab, secara tak sadar saya membebankan semuanya pada diri sendiri. Setelah sekian lama, lambat laun saya menyadari, ternyata satu-satunya pihak yang harus saya maafkan adalah diri saya sendiri.

Karena setelah menikah dan punya anak, saya harus mengakui bahwa ternyata semua pengalaman masa lalu meninggalkan jejak yang cukup dalam. Biasanya saya selalu menyangkal. I said, I am OK eventhough I come from a broken family. Secara kasat mata kehidupan saya memang baik-baik saja. Saya berhasil lulus kuliah dan tidak menjadi beban sosial bagi masyarakat, saya ga jadi pemakai narkoba dsb. But I am not that OK. It affects me a lot.

Seringkali, saya bersikap sangat negatif, minimal pada diri saya sendiri dan orang-orang terdekat. Sikap perfeksionis saya pun seringkali menghambat saya untuk berkarya maksimal di bidang saya. Hal lainnya, saya juga jadi orang yang sering mengkhawatirkan masa depan. Saya takut akan ketidakstabilan. Setelah sekian lama, lambat laun saya menyadari, ternyata satu-satunya pihak yang harus saya maafkan adalah diri saya sendiri.

Bukannya saya tidak berusaha menjadi lebih positif. Sebagai ibu, saya sudah berkomitmen untuk membebaskan anak saya memilih profesi masa depannya. Saya pun berusaha tidak menjadi tiger mom yang super perfeksionis. Saya berjanji untuk lebih memperhatikan perasaan dan keinginan-keinginan anak saya. Menurut buku parenting tersebut, "pertama-pertama orang tua harus menyelesaikan utang-utang (apapun itu) masa lalunya agar bisa menjadi orang tua yang bahagia, dan mendidik anak-anak yang bahagia."

Yang paling sering muncul memanggil saya kembali ke tengah cahaya adalah kesadaran bahwa saya tidak bisa mengubah masa lalu. Masa lalu saya dan keluarga saya sudah begitu adanya. There's still one thing I can do. To accept and forgive what happen in the past and move on. To be a happier person than I used to be. Doakan saya berhasil ya ๐Ÿ˜Œ.



16 comments:

  1. Terkadang mema'afkan diri sendiri itu lebih berat.
    Semoga berhasil. You'll

    ReplyDelete
  2. Ho oh ho oh.. :)
    We'll struggle the world, Butat! Together with the whole family member. Bismillah..

    ReplyDelete
  3. Terkadang juga kita gak nyadar kalau udah menyalahkan diri sendiri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini banget..biasanya lama nyadarnya ๐Ÿ˜’

      Delete
  4. I know you can, Teh! another wonderful piece from you <3

    ReplyDelete
  5. hiks, kok aku sedih ya teh :( semangat terus ya teh tatat, semoga selalu dikuatkan dan dibimbing sama Allah :) Aamiin.. btw, buku parentingnya bagus, apa judulnya? *eh xD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Temanya sih..bikin baper๐Ÿ˜ข hihi.. Amin..makasih doanya ya Mama Fais ๐Ÿ˜Š

      Judul bukunya: "Happy Book for Happy Parent", penulis: Aisya Yuhanida Noor. Bagus deh bukunya

      Delete
  6. Suka banget sama tulisan ini, bener-bener suatu sharing pengalaman yang berharga. Kemaren waktu nulis di blog saya, saya juga nulis begini :

    "Memaafkan, tidak akan membuat luka hati kita lenyap begitu saja. Tetapi, memaafkan dapat membuat kita terhindar dari rasa sakit, tekanan batin, dan konflik yang berkepanjangan. Memaafkan, memang tidak dapat mengubah masa lalu, tapi memaafkan dapat membukakan pintu bagi masa depan yang lebih baik."

    Yang penting sekarang Mbak bisa memaafkan masa lalu dan positif dalam menghadapi masa yang akan datang

    "To forgive is to set a prisoner free and discover that the prisoner was you."

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju banget Keven, suka dengan quotenya terutama kalimat terakhir.. so true ๐Ÿ˜Š

      Delete
  7. Ternyata jejak katumbiri seorang mommy ya. Di i.g krn tdk ada spasinya sy cenderung mengeja dgn "jejaka tumbiri". Maka mikirnya cowok. (Maafkan ketidaktahuan saya y mom). Btw, kereen ceritanya. Sama sprti yg sy alami. Trauma pengasuhan fimasa kecil selalu membayangi ya mom. Butuh kekuatan memaafkan yg super extra :) thanks4reminding. *peluk mommy tatats*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo Mbak,

      Kontributor Jejak Katumbiri yang member 1minggu1cerita ada dua, Saya (Tatat) dan Marq. Kebetulan dua2nya pun mommy2 :). Santai aja ga apa2..hehe..

      Iya mbak..memang masa lalu ga bisa diubah..kita harus bergerak ke depan. Makasih sudah mampir :)

      Delete